Blog Me

◄O► WELCOME TO WINIE BLOG ◄O► CORETAN TAK BERMAKNA ◄O► SEMOGA BERMANFAAT ◄O►

Selasa, 26 Februari 2013

Kita dan Sebaris Kata : "Andai"



By : Wini Adawiyah

(Tentang Mikha dan Fajar, dedicated : Cerita aku, kamu dan perasaan kita 2 tahun silam)


Andai waktu bisa kuputar kembali. Akan kuhela detik saat matamu menatapku. Agar aku bisa membaca sendu itu. Agar aku bisa bertanya padamu, “kamu ingin aku tinggal fajar?”.

     
       Stasiun Bandung pagi itu masih belum ramai. Aku berjalan tak cepat tak lambat, menyusuri jalanan khusus pejalan kaki. Sebenarnya jika aku bisa aku ingin tetap tinggal. Hanya jika aku bisa. Tetap ada di kota ini, kota kita. Kota dengan segala kenangan tentang kita. Kita, ah, aku meralat kata-kataku sendiri. Belum, belum harus menggunakan kita.

Bandung pagi itu berkabut. Dingin sekali. Aku merapatkan jaketku. Coklat panas sepertinya akan membantu. Kugunakan waktu yang masih tersisa untuk mampir ke kafetaria. Memilih duduk paling pojok. Ya! Sudut yang pas untuk orang yang sedang patah hati.

Andai waktu bisa kuputar kembali. Aku mau semua jauh dari pura-pura. Hentikan tatapanmu yang ambigu, kata-katamu yang penuh konotasi itu. Sungguh aku tak mengerti. Terlalu banyak waktu yang kau habiskan. Kamu penuh teka-teki. Aku tak pandai membaca hati. Kita terlalu lama bermain dengan waktu.

     Kabut masih enggan pergi pagi itu. Pun langit ikut-ikutan sendu. Mengharapkan kehadiranmu, itu sama dengan mengharap pelangi datang pagi ini. Kamu tak akan datang melepas kepergianku. Siapa aku?

Segelas cokelat panas yang aku minum sudah akan habis. Kereta yang akan membawaku ke ibu kota, baru akan menepi tiga puluh menit lagi. Sengaja aku datang lebih pagi. Berjalan dari tempat kontrakan ke stasiun. Sungguh, aku ingin menikmati pagi terakhirku di kota ini. Kota yang akan lama aku tinggalkan. Tak jauh sebenarnya, hanya berbeda jeda. Tapi, tanpa kehadiranmu, itu akan berat sekali.

Ada banyak kata yang tak sempat aku titipkan padamu. Begitu banyak pikir dan penundaan pada kita. Kita egois barangkali.
Berpikir waktu akan terus berpihak pada kebersamaan kita. Sebuah kebersamaan yang masih semu. Iya. Kita tak pernah berjalan kemana-mana.

Empat tahun hanya kita habiskan tanpa ada yang terucap. Bodoh, sungguh bodoh. Dan kesadaran itu baru muncul kini, setelah aku memutuskan pergi. Rasa kehilangan itu menghantui sekarang. Tak terbayang olehku, pagiku tanpa hadirmu. Membayangkannya saja aku takut. Tak ada lagi bekal makan siangmu yang kau bagi padaku. Tak ada lagi celoteh-celoteh lucumu di malam hari. Malam-malam cerita kita berdua di ujung telepon.

Gelasku sudah habis. Kabut masih tipis membelai langit Bandung. Aku beranjak keluar dari kafetaria. Udara sudah tak terlalu dingin. Stasiun lebih ramai dari sebelumnya. Lima belas menit lagi. Pagi ini terlalu menyakitkan.

     Aku melayangkan pandang ke luar. Berharap sosokmu berlari-lari datang seperti di film-film yang selalu kita tonton bersama itu. Kamu berlari sambil memanggil namaku. Lalu seperti sudah bisa ditebak, kamu akan memohon aku untuk jangan pergi. Ah, klise sekali film-film itu. Realitanya tak begitu.

Aku berjalan menuju peron. Memperlihatkan tiketku kepada petugas. Aku masuk ke dalam, mencari kereta paling pagi yang akan membawaku meninggalkan kenangan. Aku memberanikan diri. Berusaha. Berani menjadi pemberani itu.

Keretaku sudah duduk manis dijalurnya, hanya tinggal menunggu penumpang yang akan diangkut. Gerboong dua. Aku menuju ke sana. Ah, kamu tak datang ternyata. Mungkin aku tak cukup penting bagimu.

Aku menemukan kursiku. Dekat jendela. Posisi yang paling kamu suka. Aku tersenyum. Teringat perjalanan-perjalanan kita yang kebanyakan menggunakan kereta. Kamu suka kereta api. Dari kecil kamu bilang, kemana-mana pasti menggunakan kereta. Kamu senang mendengar suara derap kereta yang menurutku biasa saja. Kamu suka memandang ke luar jendela, lalu matamu tersenyum. Teringat masa kecil, katamu.

Hatiku berdebar. Sebentar lagi. Selamat tinggal kotaku. Selamat tinggal kotak-kotak kenangan. Aku memilih menjadi sang pemberani itu. Berani meninggalkan kenangan. Menurutku, yang paling kejam adalah kenangan. Betapa tidak? Ia merampas sebagian hati kita untuk ditinggal di tempat yang akan kita tinggalkan. Sementara sebagian lain harus kita bawa bersama senyum yang kita paksakan. Hati kita tinggal. Sementara kita, pergi.

     Kabut pagi ini meninggalkan jejak di kaca jendela. Kaca jendela mengembun indah. Biasanya kamu akan memotretnya. Kamu, tolong hilanglah sejenak dari pikiranku. Aku lelah.

Kereta akan pergi sebentar lagi. Aku menambah keberanian di hatiku. Semua akan baik tanpamu. Kita akan bertemu lagi, suatu hari nanti.
Ketika kita sudah sama-sama lelah dengan keegoisan dan harga diri. Sama-sama menyadari, kita lebih dari sekedar ini.

“ fajar,...!!!”

Aku seolah terlempar ke ruangan hening yang hanya ada aku dan kamu. Suaramu memecah udara dan membias jernih di telingaku. 

"Kamu datang ternyata?"

Limat menit yang berharga, di gerbong dua kereta Argo parahyangan. Kamu begitu tampan pagi itu. Walau matamu tak bisa menipuku, lebih sendu dari biasanya. Matamu sembab. ah Fajar, Kamu habis menangiskah semalam?(tanyaku dalam hati)

“Kamu sudah sarapan, fajar? “

Kita tak sempat sarapan bersama pagi itu. Kamu hanya sempat memberikan sarapan buatanmu. Terlalu berlebihan memang, aku tak ingin memakannya. Itu masakan buatanmu terakhir yang aku terima. Tak tahu kapan aku akan menerimanya lagi. Melankolia sekali aku pagi itu.



Fajar : “ Kamu hati-hati ya di sana, jaga kesehatan ya, Mikha..”

Mata sendu itu mau menangis. Ah, sungguh aku ingin menariknya ke dalam pelukanku, dan tak akan kulepaskan. Namun, aku hanya menggangguk pelan. Aku terpaku. Tanpa kusadari, aku meraih tanganmu. Kamu terdiam. Menunduk.

“ Aku akan baik-baik saja, Fajar.., kamu jaga makan ya, jangan bandel...”

Kamu mengangguk juga. Samakah kamu denganku? Tak mampu mengatakan sesuatu?

“ Keretanya mau jalan,.. terima kasih sudah hadir, fajar....”

Lalu aku merasa udara menyesakkan dada. Aku seolah dihantam beribu palu yang mengetuk-ngetuk hatiku. Wahai kamu sang pemilik mata sendu, ucapkanlah sesuatu. Maafkan, aku tak mampu. Katakanlah, kamu ingin aku tetap tinggal. Maka aku akan tinggal. Ah, kamu terlalu kuat bertahan ternyata.


Kereta berjalan tak cepat, tak lambat. Hatiku tertinggal di belakang. Bekal darimu masih setia di pangkuanku. Sekotak nasi goreng bergambar senyum, lengkap dengan telur mata sapi kesukaanku. sangat pedas. Aku suka pedas, kamu tahu itu.


Andai waktu bisa kuputar kembali. Aku akan mengubur keegoisanku, keegoisan kita. Tuk sekedar bertanya, “kamu ingin aku tetap tinggal?” . Melebur kata yang tak pernah terucap diantara kita. Seandainya, tak ada andai di dunia ini, mungkin kita, akan lebih berani.


=================================================================
                                                          SEKIAN


2 komentar:

  1. Wah seru ceritanya win, andai beneran tambah seru pastinya.
    Tapi aku sangat mengharapkan andai.
    "Andai waktu terulang 7 tahun silam, aku akan mengatakan maukah kamu menikah denganku?"

    BalasHapus

Komentar? Boleeeh___

bila senja malam bicara...

bila senja malam bicara...