By : Wini Adawiyah
(Tentang Mikha dan
Fajar, dedicated : Cerita aku, kamu dan perasaan kita 2 tahun silam)
Andai waktu bisa kuputar kembali.
Akan kuhela detik saat matamu menatapku. Agar aku bisa membaca sendu itu. Agar
aku bisa bertanya padamu, “kamu ingin aku tinggal fajar?”.
Stasiun Bandung pagi itu masih belum ramai. Aku berjalan tak cepat tak
lambat, menyusuri jalanan khusus pejalan kaki. Sebenarnya jika aku bisa aku
ingin tetap tinggal. Hanya jika aku bisa. Tetap ada di kota ini, kota kita.
Kota dengan segala kenangan tentang kita. Kita, ah, aku meralat kata-kataku
sendiri. Belum, belum harus menggunakan kita.
Bandung pagi itu berkabut. Dingin
sekali. Aku merapatkan jaketku. Coklat panas sepertinya akan membantu.
Kugunakan waktu yang masih tersisa untuk mampir ke kafetaria. Memilih duduk
paling pojok. Ya! Sudut yang pas untuk orang yang sedang patah hati.
Andai waktu bisa kuputar kembali.
Aku mau semua jauh dari pura-pura. Hentikan tatapanmu yang ambigu, kata-katamu
yang penuh konotasi itu. Sungguh aku tak mengerti. Terlalu banyak waktu yang
kau habiskan. Kamu penuh teka-teki. Aku tak pandai membaca hati. Kita terlalu
lama bermain dengan waktu.
Kabut masih enggan pergi pagi itu. Pun langit ikut-ikutan sendu.
Mengharapkan kehadiranmu, itu sama dengan mengharap pelangi datang pagi ini.
Kamu tak akan datang melepas kepergianku. Siapa aku?
Segelas cokelat panas yang aku minum
sudah akan habis. Kereta yang akan membawaku ke ibu kota, baru akan menepi tiga
puluh menit lagi. Sengaja aku datang lebih pagi. Berjalan dari tempat kontrakan
ke stasiun. Sungguh, aku ingin menikmati pagi terakhirku di kota ini. Kota yang
akan lama aku tinggalkan. Tak jauh sebenarnya, hanya berbeda jeda. Tapi, tanpa
kehadiranmu, itu akan berat sekali.
Ada banyak kata yang tak sempat aku
titipkan padamu. Begitu banyak pikir dan penundaan pada kita. Kita egois
barangkali.
Berpikir waktu akan terus berpihak pada
kebersamaan kita. Sebuah kebersamaan yang masih semu. Iya. Kita tak pernah
berjalan kemana-mana.
Empat tahun hanya kita habiskan
tanpa ada yang terucap. Bodoh, sungguh bodoh. Dan kesadaran itu baru muncul
kini, setelah aku memutuskan pergi. Rasa kehilangan itu menghantui sekarang.
Tak terbayang olehku, pagiku tanpa hadirmu. Membayangkannya saja aku takut. Tak
ada lagi bekal makan siangmu yang kau bagi padaku. Tak ada lagi celoteh-celoteh lucumu
di malam hari. Malam-malam cerita kita berdua di ujung telepon.
Gelasku sudah habis. Kabut masih
tipis membelai langit Bandung. Aku beranjak keluar dari kafetaria. Udara sudah
tak terlalu dingin. Stasiun lebih ramai dari sebelumnya. Lima belas menit lagi.
Pagi ini terlalu menyakitkan.
Aku melayangkan pandang ke luar. Berharap sosokmu berlari-lari datang
seperti di film-film yang selalu kita tonton bersama itu. Kamu berlari sambil
memanggil namaku. Lalu seperti sudah bisa ditebak, kamu akan memohon aku untuk
jangan pergi. Ah, klise sekali film-film itu. Realitanya tak begitu.
Aku berjalan menuju peron.
Memperlihatkan tiketku kepada petugas. Aku masuk ke dalam, mencari kereta
paling pagi yang akan membawaku meninggalkan kenangan. Aku memberanikan diri.
Berusaha. Berani menjadi pemberani itu.
Keretaku sudah duduk manis
dijalurnya, hanya tinggal menunggu penumpang yang akan diangkut. Gerboong dua.
Aku menuju ke sana. Ah, kamu tak datang ternyata. Mungkin aku tak cukup penting
bagimu.
Aku menemukan kursiku. Dekat
jendela. Posisi yang paling kamu suka. Aku tersenyum. Teringat
perjalanan-perjalanan kita yang kebanyakan menggunakan kereta. Kamu suka kereta
api. Dari kecil kamu bilang, kemana-mana pasti menggunakan kereta. Kamu senang
mendengar suara derap kereta yang menurutku biasa saja. Kamu suka memandang ke
luar jendela, lalu matamu tersenyum. Teringat masa kecil, katamu.
Hatiku berdebar. Sebentar lagi.
Selamat tinggal kotaku. Selamat tinggal kotak-kotak kenangan. Aku memilih
menjadi sang pemberani itu. Berani meninggalkan kenangan. Menurutku, yang
paling kejam adalah kenangan. Betapa tidak? Ia merampas sebagian hati kita
untuk ditinggal di tempat yang akan kita tinggalkan. Sementara sebagian lain
harus kita bawa bersama senyum yang kita paksakan. Hati kita tinggal. Sementara
kita, pergi.
Kabut pagi ini meninggalkan jejak di kaca jendela. Kaca jendela
mengembun indah. Biasanya kamu akan memotretnya. Kamu, tolong hilanglah sejenak
dari pikiranku. Aku lelah.
Kereta akan pergi sebentar lagi. Aku
menambah keberanian di hatiku. Semua akan baik tanpamu. Kita akan bertemu lagi,
suatu hari nanti.
Ketika kita sudah sama-sama lelah
dengan keegoisan dan harga diri. Sama-sama menyadari, kita lebih dari sekedar
ini.
“ fajar,...!!!”
Aku seolah terlempar ke ruangan
hening yang hanya ada aku dan kamu. Suaramu memecah udara dan membias jernih di
telingaku.
"Kamu datang ternyata?"
"Kamu datang ternyata?"
Limat menit yang berharga, di
gerbong dua kereta Argo parahyangan. Kamu begitu tampan pagi itu. Walau matamu
tak bisa menipuku, lebih sendu dari biasanya. Matamu sembab. ah Fajar, Kamu habis
menangiskah semalam?(tanyaku dalam hati)
“Kamu sudah sarapan, fajar? “
Kita tak sempat sarapan bersama pagi
itu. Kamu hanya sempat memberikan sarapan buatanmu. Terlalu berlebihan memang,
aku tak ingin memakannya. Itu masakan buatanmu terakhir yang aku terima. Tak
tahu kapan aku akan menerimanya lagi. Melankolia sekali aku pagi itu.
Fajar : “ Kamu hati-hati ya di sana, jaga
kesehatan ya, Mikha..”
Mata sendu itu mau menangis. Ah,
sungguh aku ingin menariknya ke dalam pelukanku, dan tak akan kulepaskan.
Namun, aku hanya menggangguk pelan. Aku terpaku. Tanpa kusadari, aku meraih
tanganmu. Kamu terdiam. Menunduk.
“ Aku akan baik-baik saja, Fajar..,
kamu jaga makan ya, jangan bandel...”
Kamu mengangguk juga. Samakah kamu
denganku? Tak mampu mengatakan sesuatu?
“ Keretanya mau jalan,.. terima
kasih sudah hadir, fajar....”
Lalu aku merasa udara menyesakkan
dada. Aku seolah dihantam beribu palu yang mengetuk-ngetuk hatiku. Wahai kamu
sang pemilik mata sendu, ucapkanlah sesuatu. Maafkan, aku tak mampu.
Katakanlah, kamu ingin aku tetap tinggal. Maka aku akan tinggal. Ah, kamu
terlalu kuat bertahan ternyata.
Kereta berjalan tak cepat, tak
lambat. Hatiku tertinggal di belakang. Bekal darimu masih setia di pangkuanku.
Sekotak nasi goreng bergambar senyum, lengkap dengan telur mata sapi
kesukaanku. sangat pedas. Aku suka pedas, kamu tahu itu.
Andai waktu bisa kuputar kembali.
Aku akan mengubur keegoisanku, keegoisan kita. Tuk sekedar bertanya, “kamu
ingin aku tetap tinggal?” . Melebur kata yang tak pernah terucap diantara
kita. Seandainya, tak ada andai di dunia ini, mungkin kita, akan lebih berani.
=================================================================
SEKIAN
Wah seru ceritanya win, andai beneran tambah seru pastinya.
BalasHapusTapi aku sangat mengharapkan andai.
"Andai waktu terulang 7 tahun silam, aku akan mengatakan maukah kamu menikah denganku?"
hee :) arigatou mas kukuh...
Hapus